Sidang Zarof Ricar: Keberatan Keluarga Jadi Saksi dan Temuan Gratifikasi Mencengangkan
Dalam persidangan kasus dugaan suap dan gratifikasi yang melibatkan mantan pejabat Mahkamah Agung (MA), Zarof Ricar, muncul momen emosional saat istri dan kedua anaknya dihadirkan sebagai saksi. Zarof menyatakan keberatan terhadap kehadiran keluarganya sebagai saksi dalam persidangan tersebut. Namun, ketua majelis hakim memutuskan untuk tetap mendengarkan keterangan mereka tanpa sumpah untuk terdakwa Zarof Ricar, sementara untuk terdakwa lain, mereka disumpah sebelum memberikan kesaksian.
Keberatan Zarof Ricar terhadap Keluarga sebagai Saksi
Dalam pleidoi atau nota pembelaannya pada 10 Juni 2025, Zarof Ricar mengungkapkan rasa keberatannya terhadap jalannya peradilan yang menghadirkan istri dan kedua anaknya sebagai saksi. Ia menyebutkan bahwa dari 32 orang yang dihadirkan sebagai saksi, hanya 16 orang yang tidak mengenal dan tidak memiliki keterkaitan sama sekali dalam perkaranya. Delapan orang berikutnya ada beberapa yang kenal dengannya ataupun tidak, namun tidak ada pengungkapan apa pun yang membuktikan dakwaan tim jaksa penuntut umum. Tiga di antaranya adalah keluarga Zarof sendiri, yaitu istri dan dua anaknya, yang mana ia sampaikan keberatan untuk mereka menjadi saksi baginya.
Temuan Gratifikasi yang Mencengangkan
Kasus ini mencuat setelah penyidik Kejaksaan Agung menemukan uang tunai sebesar Rp 915 miliar dan emas seberat 51 kilogram di rumah Zarof Ricar. Gratifikasi tersebut diduga diterima selama ia menjabat di MA pada periode 2012—2022. Jaksa penuntut umum mengungkapkan bahwa gratifikasi diterima dari para pihak yang memiliki perkara di lingkungan pengadilan, baik di tingkat pertama, banding, kasasi, maupun peninjauan kembali. Perbuatan Zarof dianggap pemberian suap yang berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.
Proses Hukum yang Berlanjut
Sidang lanjutan kasus ini akan terus berlanjut dengan mendengarkan keterangan dari saksi-saksi lainnya. Zarof Ricar menghadapi dakwaan melanggar Pasal 6 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 12 B juncto Pasal 15 jo. Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.
Kasus ini menjadi sorotan publik karena melibatkan pejabat tinggi di lembaga peradilan dan mencerminkan pentingnya integritas dalam sistem peradilan Indonesia. Proses hukum yang transparan dan adil diharapkan dapat mengungkap kebenaran dan memberikan efek jera bagi praktik-praktik korupsi di lingkungan peradilan.