JK Harap Kisruh 4 Pulau Tak Terulang, Singgung UU-Wewenang Gubernur Aceh

 

 

 

Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Republik Indonesia, Jusuf Kalla (JK), menekankan pentingnya pemahaman terhadap Undang-Undang Pemerintahan Aceh dan Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki dalam pengambilan kebijakan yang berkaitan dengan Aceh. Menurutnya, keputusan yang tidak melibatkan konsultasi dengan Gubernur Aceh dapat menimbulkan polemik, seperti yang terjadi terkait status empat pulau di Kabupaten Aceh Singkil. JK berharap kejadian serupa tidak terulang di masa depan.

 

 

 

Polemik Empat Pulau: Sejarah dan Posisi Hukum Aceh

 

Empat pulau yang menjadi pusat sengketa—Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek—secara historis dan administratif merupakan bagian dari wilayah Aceh. Pada tahun 1992, Gubernur Aceh Ibrahim Hasan dan Gubernur Sumatera Utara Raja Inal Siregar menandatangani kesepakatan yang menetapkan keempat pulau tersebut sebagai bagian dari Aceh, disaksikan oleh Menteri Dalam Negeri saat itu. Namun, Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 300.2.2-2138/2025 pada April 2025 mengalihkan status administratif pulau-pulau tersebut ke Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Pemerintah Aceh dan berbagai elemen masyarakat menilai keputusan ini tidak memiliki dasar hukum yang kuat dan bertentangan dengan kesepakatan 1992

 

 

 

Respons dan Harapan dari Tokoh Aceh

 

Tokoh Aceh, termasuk Wali Nanggroe Paduka Yang Mulia Tgk. Malik Mahmud Al Haythar, menyatakan bahwa keputusan pemerintah pusat yang mengalihkan status empat pulau tersebut telah menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat Aceh. Mereka khawatir jika polemik ini tidak segera diselesaikan, dapat memicu ketegangan sosial dan konflik antarprovinsi. Wali Nanggroe menegaskan bahwa jika masalah ini berlanjut, potensi konflik antar suku bisa meningkat. Oleh karena itu, dia mendesak pemerintah untuk segera meninjau kembali keputusan tersebut dan melibatkan Gubernur Aceh dalam setiap kebijakan yang berkaitan dengan wilayah Aceh.